DI tengah lapangan hijau itu, Tan “Bing” Mo Heng berdiri gagah. Matanya menatap lurus ke depan, dan di kirinya berjajar rekannya satu tim. Dia, dan kawan-kawannya, terlihat khidmat. Tampak ada semangat siap meledak. Mo Heng, kiper asal Soerabajasche Voetbal Bond (SVB) itu, adalah salah satu pemain tim “Indonesia” di Piala Dunia 1938, di Prancis.
Sore itu, 5 Juni 1938, Hindia Belanda akan melawan Hongaria. Sebelum pertandingan dibuka, Mo Heng dan rekan berbaris di tengah lapangan itu, di bawah tatapan 10.000 penonton di Velodrome Municipal, Reims. Kota itu sekitar 129 kilometer dari Paris. Para wartawan dari 27 negara hadir di sana. Ini pertama sekali Asia melaju ke Piala Dunia.
Pada selembar foto, yang menjadi jendela kita melongok masa itu, Mo Heng tampak memegang boneka di tangan kirinya. Tak jelas benar apa jenis boneka itu. Sekilas mirip boneka Teletubbies dari film serial anak zaman kini. Kelak, kita mengerti boneka ini rupanya bagian dari suatu “ritual”. Mo Heng menggantungnya di jala gawang sebagai jimat.
Menjelang pluit ditiup, lagu kebangsaan kedua negara terdengar. Tentu, tak ada lagu Indonesia Raya, karena kesebelasan itu di bawah Hindia Belanda. Meski sebagian pemain adalah pribumi dan Tionghoa, mereka bergabung pada klub milik perusahaan Belanda di Surabaya. Lagu kebangsaan Belanda “Het Wilhelmus” pun bergema.
Seperti ditulis RN Bayu Aji di bukunya “Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola” (2010) yang diterbitkan Ombak, Yogyakarta, Surabaya adalah tempat paling dinamis bagi sepak bola Hindia Belanda.
Mereka yang ikut tim Piala Dunia memang para jagoan kulit bundar di Surabaya, misalnya, Sutan Anwar dari SVB, Achmad Nawir (HBS), “Henk” Zommer (Hercules), Jack Samuels (Exelcior), Isaak Pattiwael, Tan See Han (Gie Hoo Surabaya) dan lain-lain. Mereka gabungan pribumi, Belanda, dan Tionghoa.
Cerita Mo Heng dan rekan-rekannya itu bisa maju ke Piala Dunia juga menarik.
Dihajar petir
Alkisah, Piala Dunia 1938 rupanya berlangsung panas. Tatkala FIFA memutuskan Prancis sebagai tuan rumah, protes muncul dari negara-negara Amerika Selatan. Argentina dan Uruguay mundur, dan diikuti oleh negara lain.
Akibatnya, yang bertanding di babak kualifikasi kian sedikit. Berada di Grup 12, Hindia Belanda harusnya melawan Jepang. Tapi akibat bertikai dengan Cina, Jepang lalu mundur.
Di tanah air, soal siapa yang berangkat juga sempat memicu pertengkaran. Pada mulanya, NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau Organisasi Sepakbola Hindia-Belanda di Batavia ngotot utusan mereka harusnya berangkat ke hajatan bola sejagat itu.
Sementara, sejumlah klub sepak bola nasionalis di bawah PSSI (Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) ingin pemain mereka lah yang dikirimkan.
PSSI berdiri pada 19 April 1930. Ketuanya Soeratin Sosrosoegondo, seorang insinyur lulusan Jerman. Soeratin juga aktivis gerakan nasionalisme Indonesia.
Sejumlah tokoh pejuang Indonesia mendukung terbentuknya wadah ini sebagai tindak lanjut Sumpah Pemuda 1928. Semangatnya, kurang lebih ingin membuat atlit pribumi tak bergantung pada wadah sepak bola milik kolonial.
PSSI melakoni peran itu dengan baik. Pada 1937, NIVU mengajak wadah pesepak bola nasionalis ini memantau perkembangan para pemain cakap. Secara politik, ini adalah pengakuan Belanda buat wadah anak negeri itu.
Pada 5 Januari 1937, ada kesepakatan antara NIVU dan PSSI, bahwa keduanya menjadi pucuk organisasi sepak bola di Hindia Belanda. Keduanya meneken perjanjian, atau Gentlement’s Agreement. Antara lain tertulis di sana: “karena perdjanjian ini, maka tak moengkin bila oleh salah satoe putjuk pimpinan diadakan pertandingan dengan Kesebelasan loear negeri, fihak jang lain dapat ambil bagian”.
Berdasarkan itu, keduanya menggelar pertandingan untuk seleksi tim ke Piala Dunia. Tapi NIVU tak tepat janji, mereka justru memberangkatkan tim bentukannya.
Soeratin menolak memakai nama NIVU. Alasannnya, kalau NIVU diberikan hak, maka komposisi materi pemain akan dipenuhi orang-orang Belanda. Celakanya, FIFA mengakui NIVU sebagai wakil Dutch East Indies.
Perjanjian Gentlement's Agreement itupun dibatalkan oleh PSSI. Itu sebabnya, NIVU lalu membuka kesempatan bagi pemain Tionghoa Surabaya ambil bagian dalam tim itu.
Pada 18 Maret 1938, berangkatlah tim Piala Dunia dari Hindia Belanda. Mereka naik Kapal MS Johan van Oldenbarnevelt dari Tandjong Priok, Batavia, lalu berlayar menuju Belanda. Setelah sempat dihajar badai petir dalam pelayaaran beberapa pekan, tim itu tiba di Rotterdam.
Di sana, sesuai aturan panitia Piala Dunia, tim Hindia Belanda harus melewati pertandingan play-off dengan Amerika Serikat. Jadwalnya, pada 20 Mei 1938.
Tapi saat tim tiba di Den Haag sehari sebelum pertandingan, mereka mendengar berita Amerika Serikat tak mau bertanding play-off.
Seperti kurcaci
Menunggu waktu ke Prancis, selama 17 hari tim asuhan Johannes van Mastenbroek itu berlatih tanding dengan sejumlah klub Belanda. Mereka juga dapat tips dari bondscoach Oranje, Bob Glenndening.
Jejak persiapan itu bisa kita baca di surat kabar Sin Po, yang rajin melaporkan perjalanan tim Hindia Belanda ke Prancis. Koran Melayu Tionghoa itu kerap menyebut Tim NIVU dengan "Tim Indonesia”.
Sin Po edisi 26 Mei 1938 memberitakan van Bommel dari NIVU telah menghadap Menteri Urusan Tanah Jajahan yang akan menerima Tim Indonesia pada 31 Mei.
Pada edisi 27 Mei 1938, Sin Po melaporkan hasil pertandingan Indonesia melawan HBS, skor 2-2. Mo Heng dikabarkan cedera sehingga diragukan bisa tampil di Prancis, seperti ditulis pada koran itu edisi 28 Mei 19938.
Ada juga laporan Tim Indonesia menyaksikan pertandingan Liga Belanda antara Heracles melawan Feyenoord. Sin Po 2 Juni 1938 mewartakan, Indonesia menang atas klub Haarlem dengan skor 5-3.
Di Prancis, tim Hindia Belanda itu berhadapan dengan Hongaria. Dipimpin oleh Gyorgi Sarosi, Hongaria tampak menang secara fisik. Tubuh mereka lebih tinggi, dan besar.
Dalam soal fisik ini, ada komentar dari Walikota Hongaria. “Saya seperti melihat 22 atlet Hongaria dikerubungi oleh 11 kurcaci”, ujarnya seperti dikutip Asep Ginanjar dan Agung Harsya dalam buku “100 Fakta Unik Piala Dunia” terbitan Serambi (2010).
Meski strategi tak bisa dibilang buruk, tapi Tim Hindia Belanda tak dapat berbuat banyak. Pada menit ke-13, jala di gawang Mo Heng bergetar oleh tembakan penyerang Hongaria Vilmos Kohut.
Lalu hujan gol berlangsung di menit ke-15, 28, dan 35. Babak pertama berakhir 4-0. Nasib Tim Hindia Belanda tamat pada babak kedua, dengan skor akhir 0-6. Pada saat itu Piala Dunia memakai sistem knock-out. Yang kalah kontan tersingkir.
Meskipun begitu, pada edisi 7 Juni 1938, Sin Po tetap menampilkan kepala berita yang heroik: “Indonesia-Hongarije 0-6, Kalah Sasoedahnja Kasi Perlawanan Gagah”.
Tim Hindia Belanda di Piala Dunia 1938
Pelatih:
Johannes Mastenbroek
Pemain:
Bing Mo Heng (kiper)
Herman Zommers
Franz Meeng
Isaac Pattiwael
Frans Pede Hukom
Hans Taihattu
Pan Hong Tjien
Jack Sammuels
Suwarte Soedermandji
Anwar Sutan
Achmad Nawir (kapten).
0 komentar:
Posting Komentar